Senin, 05 Juli 2010

PENGEMBANGAN PENDIDIKAN PESANTREN DITENGAH KEMAJUAN TEGNOLOGI DAN INFORMASI
(Tela’ah Perkembangan Pesantren Masa Kini )
Moh. Arif*
Dosen STAIN Tulungagung
Abstrack, The Education Development of Islamic Bonrding School in the middle progress of technology and information has taken a good role with the existence of Islamic Boarding School at Indonesia which claimed that it has been undeveloped long time before especeally in the secope of information and technology, to exploit the management of education. Regarding that the existence of Islamic bornding school according to it’s history untill now has got many changeable in the growing of scientific in the case of religions or pablic’s knowledge. A good wind Sikdiknas No 20 year the 2003 section of 30 article 4, has given and eliminated the discrimination for Islamic Boarding school in the case of development of relgion education. Because it was claimed as the institute jast concerning the religions education. In other side the progressing to exploite the technology and informatin is not samething new. Therefore, to effort the existence of of Islamic Boarding school in the middle of this progress as education’s institute it have to updated the news information. Besides that technology of informatin of Islamic Boarding school can be assisted in doing the spreading of information concerning profile, activity, management, and development of education and human resources.

Keywords: Education of pesantren, development of education and technology of informatin Islamic Boarding school

A PENDAHULUAN
Secara historis pendidikan pondok pesantren lebih menekankan pada aspek pengembangan pendidikan keislaman (salaf), pendidikan Islam lebih dominan dari pada pendidikan umum, karena pendidikan Islam merupakan konsepsi kependidikan yang mengandung berbagai teori yang dikembangkan dari hipotesa-hipotesa atau wawasan yang berseumber pada Al-qur’an dan Al-Hadist (H.M Arifin:2000:7), hal ini sejalan dengan pendidikan yang diterapkan di pesantren saklipun juga dikembangkan kitab-kitab kuning yang dapat membekali para santri dalam mengembangkan pendidikan Islam atau pesantren.
Pendidikan di pesantren, menekankan kepada hubungan manusia dengan tuhannya dan manusia dengan manusia, atau ajaran hubungan dunia dan akhirat yang didasarkan pada Al-qur’an dan Sunnah sebagai sumber acuannya (Abdul Rahman Shaleh: 2005:15).
Sedangkan ditinjau dari peran kependidikannya merupakan subsistem pendidikan nasional telah memberikan kontribusinya yang signifikan bagi peradaban Islam di Indonesia. Sebagai lembaga pendidikan yang indigenous (ala) Indonesia, pesantren memiliki akar sosio-historis yang cukup kuat, sehingga membuatnya mampu meduduki posisi yang relatif sentral dalam dunia keilmuan masyarakat, sekaligus bertahan di tengah berbagai gelombang perubahan.
Demikian besar peranan pondok pesantren dalam rentang perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Banyak tokoh nasional dan bahkan internasional yang lahir dari lingkungan pondok pesantren. Hal ini membuktikan bahwa pondok pesantren mempunyai kekuatan dan kemampuan strategis untuk menghasilkan manusia berkualitas, memiliki pengetahuan luas, berpikiran maju dan berwawasan kebangsaan yang kuat.
Di satu sisi, terbitnya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) merupakan peluang emas bagi pengembangan pesantren. Pasalnya, UU tersebut telah menghapus diskriminasi terhadap pendidikan keagamaan yang berlangsung selama ini. Konkretnya, pendidikan diniyah dan pesantren telah diakui sebagai bentuk pendidikan keagamaan (pasal 30 ayat 4) (UU Sukdiknas: 2008)
Dengan demikian, beberapa kalangan meyakini nasib lembaga pendidikan yang genuine dan tertua di Indonesia ini bakal menjadi ”lebih baik”. Kecenderungan aparat birokrasi pendidikan meminggirkan pesantren dari arus utama kebijakan selama ini tidak lagi diteruskan.
Terkait dengan penerapan teknologi informasi dan komunikasi (ICT) untuk pendidikan pesantren tampak begitu marak di Indonesia. Sayangnya, institusi pesantren dan madrasah yang diakui atau tidak adalah lembaga pendidikan tertua dan khas Indonesia secara sadar atau tidak, diabaikan dalam pengembangan teknologi pendidikan berbasis teknologi informasi ini.
Tidak dapat dipungkiri bahwa kita sedang sudah memasuki masa dimana teknologi informasi menjadi bagian yang sangat penting bagi kehidupan manusia. Dewasa ini informasi merupakan “komoditas primer” yang dibutuhkan orang, seiring dengan semakin canggihnya teknologi informasi dan komunikasi. Sehingga lazim dikatakan peradaban pada masa ini merupakan peradaban masyarakat informasi
Dengan melihat perkembangannya keberadaan teknologi informasi merupakan suatu hal yang tidak dapat dihindari, pesantren sebagai lembaga pendidikan memiliki pengaruh yang sangat besar di masayarakat, untuk menciptakan komonikasi terhadap mereka, maka sangat dibutuhkan layanan informasi agar tersampaikan secara tepat dan cepat.
Indegenousitas pesantren kontras berbeda dengan praktek pendidikan pada intitusi pendidikan lainnya, sehingga dinamika sekaligus problematika yang muncul kemudian, juga menampilkan watak yang khas dan eksotik. Di era globalisasi sekarang ini. Sehingga, fenomena globalisasi yang begitu cepat mengalami akselerasi dalam berbagai aspek, sebagai konsekuensi logis dari penerapan high-tech (tekhnologi tinggi), menyebabkan bangsa Indonesia tergiring pada pola interaksi yang amat cepat dan massif dengan negara-negara lain di dunia. Dalam fase masyarakat informasi inilah, pesantren semakin menghadapi tantangan yang tidak ringan dan lebih kompleks ketimbang periode waktu sebelumnya.
Untuk itu dirasa perlu adanya seuah terobosan untuk mulai memperkenalkan serta menerapkan teknologi informasi dan komunikasi di dalam pesantren dan madrasah melalui berbagai metode yang tepat. Karena itulah dalam rangkan pengembangan pendidikan pesantren, diperlukan adanya pemanfaatan penggunakan IT dapat diaplikasikan dalam pesantren sebagai lembanga pendidikan di masyarakat yang dapat memberikan peluang dalam kemajuan bangsa Indonesia

B PENGEMBANGAN PENDIDIKAN DI PESANTREN
1. Pengertian Pesantren
Istilah “pesantren” adalah (javenese “santri place”. Seminary for students of teology on the islands of Java and Madura), yang berarti tempat santri Jawa, seminari teologi bagi santri di pulau Jawa dan Madura. Sedangkan kata “santri”, yang dengan awalan “pe” di depan dan akhiran “an” (menjadi pesantren), berarti tempat tinggal para santri unrtuk mengikuti pelajaran agama Islam. Demikian juga disebutkan bahwa asal etimologi dari pesantren adalah pe-santri-an, yaitu “tempat santri” (Ziemek, Manfred. 1983: 16)
Kata pesantren terkadang dianggap gabungan dari kata “sant” (manusia baik-baik) dengan suku kata “tra” (suka menolong), sehingga kata “pesantren” dapat berarti tempat pendidikan manusia baik-baik. Santri atau murid mendapat pelajaran dari pimpinan pesantren (kyai) dan para guru (ulama atau ustadz). Pelajarannya mencakup berbagai bidang tentang pengetahuan Islam. Kenyataan yang didapatkan dalam kehidupan sekarang memang pesantren adalah sutau lembaga pendidikan Islam tertua berfungsi sebagai salah satu benteng pengetahuan umat Islam, pusat dakwah dan pusat pengembangan masyarakat muslim Indonesia.
Demikian juga jika ada sebagian orang berpendapat yang mengaitkan dengan agama Budha dari segi bentuk asramanya, itu pun bias terjadi. Salah satunya dijelaskan bahwa “agama jawa” (abad 8-9) merupakan perpaduan antara kepercayaan Animisme, Hinduisme dan Budisme . Selanjutnya di bawah pengaruh Islam, system pendidikan tersebut diambil dan mengganti nilai ajarannya dengan nilai ajaran agama Islam. Model pendidikan “agama Jawa” itu disebut “pawiyatan”, berbentuk asrama dan rumah guru. Gurunya disebut “Ki Ajar” ditengah-tengahnya murid yang disebut “cantrik”. Ki ajar dan cantrik atau murid tersebut hidup bersama dalam satu kampus. Hubungan mereka sangat erat, bagaikan keluarga dalam satu rumah. Ilmu-ilmu yang diajarkan adalah: filsafat, alam, seni, sastra dan sebagainya, diberikan secara terpadu dengan pendidikan agama dan moral(Mastuhu (1989: 7).
Berkenaan dengan istilah “santri” ini, dapat dikemukakan mengemukakan bahwa asal kata santri adalah “sastri” (sansekerta) yang berarti “melek huruf”, dikonotasikan santri ini adalah kelas “leterate”, pengetahuan agama dibaca dari kitab berbahasa Arab dan diasumsikan bahwa santri berarti juga orang yang tahu agama (melalui kitab-kitab) dan paling tidak mereka dapat membaca al-Qur’an, sehingga membawa kepada sikap lebih serius dalam memandang agama (Nurcholis Madjid: 1997:20).
Apapun istilahnya, dari hal yang tersebut di atas itu berbeda atau bisa dibedakan dengan lembaga pendidikan kaum muslimin yang lain, seperti madrasah, sekolah dalam berbagai jenis dan jenjang yang ada (Steenbrink, K. A. 1991:10). Sekurang-kurangnya ciri khas pesantren adalah terdapatnya pondok atau asrama untuk para santri, yang tidak terdapat pada madrasah atau sekolah pada umumnya.
2. Asal Usul Pesantren
Tidak jelas dan tidak banyak referensi yang menjelaskan kapan pesantren pertama berdiri, bahkan sebenarnya istilah pesantren, kyai dan santri pun masih diperselisihkan. Dalam pandangan Steenbrik, bahwa pendidikan pesantren dilihat dari segi bentuk dan sistemnya berasal dari India. Karena sebelum proses penyebaran Islam di Indonesia system tersebut telah dipergunakan secara umum untuk pendidikan dan pengajaran agama Hindu di Jawa. Setelah Islam masuk dan tersebar di Jawa, system tersebut diadopsi oleh Islam.
Dengan demikian dilihat dari bentuknya antara pendidikan Hindu dan pesantren dapat dianggap sebagai petunjuk asal usul pesantren, seperti penyerahan tanah dari negara untuk kepentingan agama, demikian juga system pendidikan pesantren maupun pesantren di Indonesia tidak dijumpai pada system pendidikan yang asli Makkah (Nur Syam. 2005:93). Ini dapat dijadikan alas an membuktikan bahwa asal usul system pendidikan pesantren berasal dari India.
Di sisi lain dinyatakan bahwa asal usul pendidikan pesantren yang menggunakan bahasa Arab pada awal pelajarannya, ternyata dapat ditemukan di Bagdad ketika menjadi pusat dan ibukota wilayah Islam, dengan ditandai tradisi penyerahan tanah oleh negara dapat ditemukan dalam sistem wakaf (Yunus, Mahmud . 1995:31).
Namun bila ditelusuri secara histories, menurut asal usul pesantren tidak bisa dipisahkan dari peran Wali Songo abad 15 – 16 di Jawa. Maulana Ibrahim (meninggal 1419 di Gresik Jawa Timur), disebut sebagai “spiritual father”-nya Wali Songo, dalam masyarakat santri Jawa biasanya dipandang sebagai “gurunya guru” (syaikhul masyayikh) tradisi pesantren di Jawa. Wali Songo adalah tokoh penyebar Islam yang telah berhasil mengkombinasikan aspek-aspek sekuler dan spiritual dalam memperkenalkan Islam pada masyarakat. (Mas'ud, Abdurrachman. 2002: 3). Para santri di Jawa berpandangan bahwa Wali Songo adalah pemimpin umat yang sangat shaleh dan dengan pencerahan spiritual religius mereka, bumi Jawa yang awalnya tidak mengenal agama monotheisme (Islam) menjadi bersinar terang.
Berdasar pada beberapa keterangan tersebut di atas, bisa disimpulkan bahwa pesantren dengan segala tradisi pendidikan, pengajaran dan pembinaan wataknya secara kelembagaan mengambil tradisi agama lokal (Animisme, Hindu dan Budha). Sedangkan secara esensial lembaga yang telah ada tersebut diadaptasikan dengan esensi ajaran Islam dengan cara mengakomodasikan ajaran agama lokal yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam.
Hal ini dilakukan oleh Wali Songo dengan gerakan “Islam cultural”, proses ini membutuhkan waktu cukup panjang dan gradual yang kemudian dilanjutkan oleh santri-santri mereka, yang pada akhirnya menjadi pengganti dan penerus islamisasi di tanah Jawa dalam bentuk pendirian pondok pesantren. Gerakan Islam cultural ini dilakukan dengan menekankan saling berdampingan dan damai, kesatuan, stabilitas dan harmoni dengan masyarakat sekitar.
Dalam perkembangan selanjutnya, pesantren tumbuh dan berkembang di seluruh Indonesia dengan berbagai ciri khas kulturnya, sehingga ada pesantren salafiyyah (lama) dan pesantren kholafiyyah (baru/modern).
3. Pengajaran ilmu-ilmu ke-Islaman
Pengajaran ilmu-ilmu keislaman di pesantren, pada umumnya dilaksanakan melalui pengajian kitab-kitab Islam klasik. Namun pada sebagian pesantren, khususnya pesantren kholaf pengajaran ilmu-ilmu keislaman ada yang menggunakan kitab-kitab berbahasa Arab, yang tidak tergolong dalam kitab-kitab klasik. Untuk itu, dalam pembahasan ini dibedakan antara: pengajian kitab-kitab klasik dan pengajian kitab-kitab non klasik.
a. Pengajian kitab-kitab klasik
Kitab-kitab Islam klasik yang lebih populer dengan sebutan kitab kuning, yang ditulis oleh para ulama Islam zaman pertengahan. Kepintaran dan kemahiran seorang santri diukur dari kemampuannya membaca dan mensyarahkan (menjelaskan) isi kandungan kitab-kitab tersebut. Agar bisa membaca dan memahami sebuah kitab, seorang santri dituntut terlebih dahulu memahami dengan ilmu-ilmu bantu seperti: nahwu, sharaf, balaghah, ma’ani, bayan dan lain sebagainya. Kitab yang diajarkan antara pesantren satu dengan pesantren lainnya berbeda-beda, karena pesantren memiliki variasi bermacam-macam, sekaligus dengan karakteristiknya sendiri (Miski Anwar. 2003: 75). Ada pesantren yang dikenal memiliki spesialisasi dalam pengajaran tauhid, ada yang menonjol dalam bidang tafsir-hadits, ada semacam pesantren takhasus fiqih atau syari’ah, takhasus dalam bidang nahwu sharaf, ada pesantren tasawuf, bahkan menekuni ilmu-ilmu falaq. Bahkan akhir-akhir ini ada pesantren dengan spesialisasi baru seperti: pertanian, pertukangan, ketrampilan jasa, koperasi dan pelestarian lingkungan.
Kitab-kitab tersebut meliputi teks yang tipis sampai teks yang terdiri dari berjilid-jilid tebal, mengenai tafsir, hadits, fiqih, ushul fiqih dan tasawuf. Kesemuanya ini digolongkan ke dalam tiga kelompok, yaitu: (1) kitab-kitab dasar, (2) kitab-kitab tingkat menengah, dan (3) kitab-kitab besar, (Zamakhsyari Dhofier. 1990: 50-51)
Untuk kitab-kitab yang tergolong tingkat dasar dan menengah diserahkan kepada para ustadz atau badal (asisten) kyai. Sedangkan yang tergolong kitab-kitab besar atau level tinggi, kyai sendirilah yang mengajarkannya. Metode pengajarannya dikenal dengan sorogan dan wetonan Penyampaiannya dengan cara menterjemahkan kitab-kitab tersebut dengan bahasa Jawa (Zamakhsyari Dhofier. 1990: 201)
Dalam proses pembelajaran biasanya para santri menggunakan istilah “terjemahan jenggotan”. Bentuk terjemahan ini selalu ditulis dalam bahasa Jawa dengan huruf arab “pegon” yang ditulis menggelantung di bawah teks arab aslinya. Dan pola ini digunakan hampir di seluruh Indonesia, termasuk mereka yang tidak berbicara dengan bahasa Jawa, seperti Madura dan Sunda
b. Pengajian kitab-kitab non klasik
Bagi pesantren salafiyah, pengajian kitab kuning mutlak dilaksanakan. Tidak demikian halnya dengan pesantren yang tergolong modern. Bagi pesantren ini, pengajian kitab kuning tidak merupakan bagian terpenting, bahkan boleh dikatakan tidak diajarkan.
Pengajian ilmu-ilmu agama diambil dari kitab-kitab yang berbahasa Arab yang dikarang oleh para ulama yang tergolong mutaakhir (tidak disusun pada zaman pertengahan). Misalnya, Pondok Modern Darussalam Gontor Ponorogo, pesantren ini mendakwahkan dirinya sebagai pesantren modern, demikian juga dengan Pondok Pesantren Wali Songo Ngabar Ponorogo tergolong dalam pesantren modern. Di pesantren ini pelajaran agama Islam tidak berdasar kepada kitab kuning, tetapi kebanyakan bersumber dari kitab karangan ulama yang tergolong abad ke-20. Kitab-kitab tersebut ditulis dengan menggunakan bahasa Arab, sehingga para santri dituntut untuk memiliki kemampuan memahami dan menguasai kaidah-kaidah bahasa Arab, maka kemampuan mendalami dan menguasai kaidah-kaidah bahasa Arab menjadi syarat mutlak untuk memahami kandungan kitab-kitab tersebut.
1. Sistem Pendidikan dan Pengajaran di Pesantren
a. Sistem pendidikan
Pesantren atau pondok adalah lembaga yang merupakan wujud proses wajar perkembangan sistem pendidikan nasional. Dari segi historis pesantren tidak hanya identik dengan makna keislaman, tetapi juga mengandung makna keaslian Indonesia (indigenous). Sebab, lembaga yang serupa pesantren ini sebanarnya sudah ada sejak pada masa kekuasaan Hindu-Budda. Sehingga Islam tinggal meneruskan dan mengislamkan lembaga pendidikan yang sudah ada (Nurcholis Majid .1997:3).
Di Indonesia istilah kuttab lebih dikenal dengan pondok pesantren, yaitu sebagai lembaga pendidikan Islam, di dalamnya terdapat seorang kyai (pendidik) dengan menggunakan masjid sebagai tempat menyelenggarakan pendidikan, serta didukung adanya pondok (asrama) sebagai tempat tinggal para santri (Ali Mukti. 1987:323). Sistem asrama merupakan ciri khas tradisi pendidikan pesantren, yang membedakan dari system pendidikan tradisional di masjid-masjid yang berkembang di Indonesia. Area komplek pesantren awalnya adalah milik kyai seorang, tetapi sejalan dengan perkembangan zaman berangsur-angsur berubah menjadi yayasan, badan wakaf atau masyarakat. Walaupun demikian kyai tetap memiliki kekuasaan mutlak atas pengurusan di komplek pesantren.
Pendidikan pesantren memiliki dua sistem pengajaran, yaitu sistem sorogan, yang sering disebut sistem individual, dan sistem bandongan atau wetonan yang sering disebut kolektif. Dengan cara sistem sorogan tersebut, setiap murid mendapat kesempatan untuk belajar secara langsung dari kyai atau pembantu kyai. Sistem ini biasanya diberikan dalam pengajian kepada murid-murid yang telah menguasai pembacaan Qurán dan kenyataan merupakan bagian yang paling sulit sebab sistem ini menuntut kesabaran, kerajinan, ketaatan dan disiplin pribadi dari murid. Murid seharusnya sudah paham tingkat sorogan ini sebelum dapat mengikuti pendidikan selanjutnya di pesantren. (Dhofir Zamakhsyari. 1982: 28).
b. Materi pelajaran dan metode pembelajaran
Sebagai lembaga pendidikan Islam, pada dasarnya hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama Islam. Dengan sumber kajiannya menggunakan kitab-kitab berbahasa Arab. Pelajaran agama yang dikaji di pesantren antara lain: (1) al-Qur’an beserta makhroj, tajwid dan tafsirnya, (2) fiqih dan ilmu ushul fiqh, (3) aqa’id dan ilmu kalam, (4) Hadits dan mustholah hadits, (5) bahasa Arab dengan ilmu-ilmu alatnya, seperti nahwu, sharaf, bayan, ma’ani, badi’ dan ‘arud, (6) tarikh, (7) mantiq, (8) tasawuf (Dhofir Zamakhsyari. 1982: 107). Kitab-kitab tersebut terdiri dari teks pendek sampai teks yang terdiri dari berjilid-jilid.
Adapun metode yang biasa digunakan dalam pembelajaran di pesantren adalah: (1) wetonan atau bandongan, (2) sorogan, dan (3) hafalan (Mas’ud: 2001: 10). Metode wetonan atau bandongan adalah metode kuliah di mana para santri mengikuti pelajaran dengan duduk (lesehan) di sekeliling kyai yang membaca dan menerangkan isi kitab. Santri menyimak kitab masing-masing, dan jika perlu memberi catatan di bagian yang kosong pada halaman kitab.
Istilah wetonan berasal dari bahasa Jawa “wekton” yang berarti “waktu-waktu tertentu” dan mendapatkan akhiran “an”. Karena pengajian tersebut diberikan pada waktu-waktu tertentu, yaitu sesudah atau sebelum melaksanakan sholat fardhu. Di Jawa Barat, metode ini disebut dengan “bandongan” sedangkan di Sumatra disebut dengan “halaqah”. System ini dikenal juga dengan sebutan “balaghan”, yaitu belajar secara berkelompok yang diikuti oleh seluruh santri. Biasanya kyai menggunakan bahasa daerah setempat dan langsung menterjemahkan kalimat demi kalimat dari kitab yang dipelajarainya. (Dhofir Zamakhsyari. 1982: 108).
Metode sorogan adalah suatu metode di mana santri menghadap kyai, seorang demi seorang secara bergiliran dengan membawa kitab yang akan dipelajari. Kyai membaca dan menterjemahkannya kalimat demi kalimat, kemudian menerangkan maksudnya. Santri menyimak bacaan kyai dan mengulanginya di hadapan kyai sampai memahami maksud isi kitab.
Metode hafalan adalah metode di mana santri menghafal teks atau kalimat tertentu dari kitab yang dipelajarinya. Biasanya cara menghafalnya diajarkan dalam bentuk syair atau nadham, dengan cara ini memudahkan santri untuk menghafal, baik ketika belajar maupun saat berada di luar jam belajar. Kebiasaan menghafal merupakan tradisi yang sudah berlangsung sejak berdirinya pesantren.

2. Pengenbangan SDM Pesantren
Perkembangan SDM akan dengan sendirinya terjadi sebagai hasil dari interaksi antara pertumbuhan ekonomi, perubahan sosial budaya termasuk kedalaman pengamalan ajaran dan nilai-nilai agama serta perkembangan iptek. Apabila dilaksanakan secara terencana dan terkendali, ketiga proses tersebut menjadi sinergistik. Dalam hal ini pembangunan ekonomi tidak secara otomatis menjamin terdapatnya peningkatan kualitas SDM. Namun perkembangan SDM yang berkualitas dapat mempercepat pertumbuhan ekonomi.
Setelah kita telusuri peluang dan tantangan untuk meningkatkan kualitas SDM sampailah kita pada harapan pada upaya peningkatan SDM melalui pondok pesantren. Jerih payah yang kita amalkan dalam pendidikan Pondok Pesantren diharapkan kelak dapat melahirkan intelektual muslim yang:
1) Selalu berbuat atau bertindak sesuai dengan ketentuan yang diamanahkan oleh al qur’an dan al hadis agar dia selalu dapat menempatkan dirinya sebagai choeru ummah yang dapat menjadi tauladan di tengah masyarakat sekelilingnya;
2) Takutnya hanya kepada allah swt tidak kepada ciptaan allah swt lainnya;
3) Ingin menciptakan kemakmuran serta kedamaian di muka bumi;
4) Takut menyebarkan fitnah, berani menegakkan kebenaran serta keadilan;
5) Dalam mengerjakan apapun hanya dalam rangka mencari ridho ALLAH SWT, karena sadar benar tentang adanya kebahagiaan yang abadi di akhirat;
6) Memiliki sifat-sifat siddiq, amanah, tabliqh, fatonah, serta selalu tawadhu dan tafakhur
7) Memiliki rasa ingin tahu yang tinggi sehingga mampu menemukan hal-hal baru yang bermanfaat bagi manusia.
Untuk mewujudkan harapan tersebut di atas kunci utamanya terletak di tangan para pendidik, yang harus memiliki karakter kuat, sabar, istiqomah, tegas, penuh perhatian, adil, menguasai benar-benar materi yang ingin disampaikan.
Di tengah pergulatan masyarakat informasional, pesantren 'dipaksa' memasuki ruang kontestasi dengan institusi pendidikan lainnya, terlebih dengan sangat maraknya pendidikan berlabel luar negeri yang menambah semakin ketatnya persaingan mutu out-put (keluaran) pendidikan. Kompetisi yang kian ketat itu, memosisikan institusi pesantren untuk mempertaruhkan kualitas out-put pendidikannya agar tetap unggul dan menjadi pilihan masyarakat, terutama umat Islam. Ini mengindikasikan, bahwa pesantren perlu banyak melakukan pembenahan internal dan inovasi baru agar tetap mampu meningkatkan mutu pendidikannya
Tuntutan jaman menghendaki agar pembentukan kepribadian harus dilakukan secara lebih seksama, sehingga SDM diarahkan untuk menghadapi tantangan jaman dan di waktu yang bersamaan menjadi insan yang taat menjalankan ajaran agamanya. Dengan perkataan lain Pondok Pesantren harus dapat turut mewujudkan manusia Indonesia yang beriman dan bertaqwa, yang berilmu dan beramal; juga manusia Indonesia yang modern. Saya ingin menggarisbawahi peran pondok pesantren sebagai agen modernisasi seperti di masa yang lalu, pada masa pendidikan di pondok pesanten menduduki tempat yang unggul di masyarakat. Saya berpendapat keunggulan ini dapat diraih kembali, yaitu dengan mengembangkan pondok pesantren juga sebagai pusat pendidikan dan pengembangan budaya modern.
Peran pondok pesantren dalam masyarakat kita sangat besar, terutama pada akar rumput. Oleh karena itu, proses modernisasi masyarakat kita, akan dapat lebih cepat apabila dipelopori oleh pondok-pondok pesantren. Untuk itu memang pondok pesantren itu sendiri perlu menyesuaikan pola pendidikan dan pengajarannya serta kehidupan para santrinya agar pondok pesantren dapat menjadi lembaga masyarakat yang mandiri tetapi tetap berada di atas landasan firman Allah SWT dan hadist Nabi Muhammad SAW.
D. PENGEMBANGAN PENDIDIKAN PESANTREN
Melihat dari sisi historis mengenai sistem pendidikan di pesantren, di pandang perlu adanya perubahan sesuai dengan perkembangan dan tuntutan zaman, dimana banyaknya lulusan pesantren memiliki integritas dan intelektual yang tinggi, baik dalam hal agama maupun dalam hal pengetahuan umum. Oleh karenanya sudah seharusnya pendidikan pesantren di Indonesia dapat memberikan peluang terhadap kemajuan bangsa.
Di tengah pergulatan masyarakat informasional, pesantren 'dipaksa' memasuki ruang kontestasi dengan institusi pendidikan lainnya, terlebih dengan sangat maraknya pendidikan berlabel luar negeri yang menambah semakin ketatnya persaingan mutu out-put (keluaran) pendidikan. Kompetisi yang kian ketat itu, memosisikan institusi pesantren untuk mempertaruhkan kualitas out-put pendidikannya agar tetap unggul dan menjadi pilihan masyarakat, terutama umat Islam. Ini mengindikasikan, bahwa pesantren perlu banyak melakukan pembenahan internal dan inovasi baru agar tetap mampu meningkatkan mutu pendidikannya (www. educationartikel.com: 2009)
Persoalan ini tentu saja berkorelasi positif dengan konteks pengajaran di pesantren. Di mana, secara tidak langsung mengharuskan adanya pembaharuan (modernisasi)-kalau boleh dikatakan demikian-dalam pelbagai aspek pendidikan di dunia pesantren. Sebut saja misalnya mengenai kurikulum, sarana-prasarana, tenaga kependidikan (pegawai administrasi), guru, manajemen (pengelolaan), sistem evaluasi dan aspek-aspek lainnya dalam penyelenggaraan pendidikan di pesantren. Jika aspek-aspek pendidikan seperti ini tidak mendapatkan perhatian yang proporsional untuk segera dimodernisasi, atau minimalnya disesuaikan dengan kebutuhan dan tuntutan masyarakat (social needs and demand), tentu akan mengancam survival pesantren di masa depan
Dengan begitu, pengembangan pendidikan pesantren tidak saja dilakukan dengan cara memasukkan pengetahuan non-agama, melainkan agar lebih efektif dan signifikan, praktek pengajaran harus menerapkan metodologi yang lebih baru dan modern. Sebab, ketika didaktik-metodik yang diterapkan masih berkutat pada cara-cara lama yang ketinggalan zaman alias "kuno", maka selama itu pula pesantren sulit untuk berkompetisi dengan institusi pendidikan lainnya! Persoalannya, betulkah semua yang berwatak lama itu kurang baik.
Di samping itu, pula sesuai dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) merupakan peluang emas bagi pengembangan pendidikan pesantren. Pasalnya, UU tersebut telah menghapus diskriminasi terhadap pendidikan keagamaan yang berlangsung selama ini. Konkretnya, pendidikan diniyah dan pesantren telah diakui sebagai bentuk pendidikan keagamaan (pasal 30 ayat 4)
Penerapan dari UU di tasan dapat memberikan pijakan terhadap segala aktivitas pendidikan di pesantren, dimana dapat mengarah pada pembentukan manusia untuk memahami, menghayati dan bertingkah laku islami. Sehingga ranah kognitif, afektif dan psikomotoriknya diarahkan untuk membentuk manusia yang taat beragama dan sholeh, baik secara individual maupun social. Walaupun belakangan ini ada pesantren yang telah memasukkan pendidikan formal setingkat SLTP/MTs, SMU/SMK/MA dan bahkan ada yang membuka Perguruan Tinggi, namun tetap mengutamakan penghayatan ajaran Islam yang komperhensif
E. PONDOK PESANTREN DI ERA TEKNOLOGI DAN INFORMASI
Memasuki Abad ke-21, bangsa-bangsa di dunia sedang berlomba dalam pengembangan berbagai teknologi strategis. Dampak perkembangan teknologi ini menyebabkan kompetisi perekonomian menjadi makin tajam dan melebar. Persaingan makin melebar karena cepatnya perkembangan teknologi informasi dan transportasi yang menyebabkan makin mudahnya bagi negara-negara untuk mengakses infromasi bisnis, industri dan teknologi. Kesempatan memanfaatkan dan menguasai teknologi dan bisnis juga bisa diraih oleh negara-negara berkembang. Persaingan juga makin tajam dalam arti perkembangan teknologi makin canggih, dan dengan arus modal yang makin cepat berputar dan meluas akan memungkinkan banyak orang memiliki, membeli dan menggunakannya, walaupun masih belum mampu menguasai atau mengembangkan sendiri teknologi tersebut.
Perkembangan teknologi yang begitu pesat di berbagai bidang sejak dasawarsa 1980-an berdampak dan secara dramatis telah mengubah pengertian konseptual kita tentang jarak, waktu, budaya, gaya hidup dan perilaku.
Karena interaksi antar bangsa makin meningkat dengan berkembangnya teknologi informasi, komunikasi dan transportasi maka akses terhadap nilai-nilai baru, terutama nilai-nilai budaya dari luar masyarakat kita makin besar. Dengan terbukanya perekonomian nasional terhadap perkembangan perekonomian dunia, ketika kita memasuki era millennium ke III, dampaknya yang sangat terasa adalah pada kehidupan ekonomi yang makin kompetitif dalam kondisi terbatasnya sumber daya yang tersedia. Krisis ekonomi dan keuangan yang menimpa kita, dan berbagai negara lainnya, yang disebut sebagai Krisis Asia, juga adalah akibat dari proses keterbukaan ekonomi tersebut.
Memasuki era baru ini, dalam kehidupan bangsa kita pun telah terjadi transformasi di semua segi terutama sosial dan budaya yang sangat cepat dan mendasar pada semua aspek kehidupan manusia. Proses transformasi dari era lama ke era baru ini sekarang telah berpadu dengan proses pembaharuan, yang kita kenal dengan reformasi. Reformasi sebagai koreksi atas kekeliruan di masa lalu sangat diperlukan dan telah menjadi proses yang tidak bisa ditunda.
Tetapi, kalau kita tidak hati-hati dalam mengelola proses perubahan ini bisa terjadi benturanbenturan besar yang dapat merusak nilai-nilai bangsa yang sangat mahal kita pertahankan selama ini seperti persatuan dan kesatuan. Disinilah peranan agama yang menjadi landasan dan penyaring segala segi kehidupan berbangsa dan bernegara sangat penting peranannya, terutama membendung nilai yang sama sekali bertentangan dengan budaya dan kepribadian bangsa Indonesia yang telah terbentuk dan teruji dalam suatu proses yang panjang (www.ginandjar.com.2010).
Berbagai perubahan tersebut menuntut sikap mental yang kuat, disamping efisiensi, produktivitas, dan peran serta masyarakat. Hal ini berarti meningkat pula tuntutan terhadap pengembangan SDM yang makin berkualitas dan tangguh, yang mampu mengantisipasi perubahan-perubahan yang terjadi dan mengatasi ekses-eksesnya.
F. IMPLIKASI INFORMASI DAN TEGNOLOGI TERHADAP PENDIDIKAN PESANTREN
Sejarah IT dan Internet tidak dapat dilepaskan dari bidang pendidikan. Internet di Amerika mulai tumbuh dari lingkungan akademis (NSFNET), seperti diceritakan dalam buku “Nerds 2.0.1″. Demikian pula Internet di Indonesia mulai tumbuh dilingkungan akademis (di UI dan ITB), meskipun cerita yang seru justru muncul di bidang bisnis. Mungkin perlu diperbanyak cerita tentang manfaat Internet bagi bidang pendidikan termasuk dilingkungan pesantren.
Adanya Internet membuka sumber informasi yang tadinya susah diakses. Akses terhadap sumber informasi bukan menjadi malasah lagi. Perpustakaan merupakan salah satu sumber informasi yang mahal harganya. Adanya Internet memungkinkan kegiatan pesantren dapat berjalan dengan baik, termasuk dalam memberikan pertolongan dalam penelitian tugas akhir dikalangan pendidikan pesantren. Tukar menukar informasi atau tanya jawab dengan pakar dapat dilakukan melalui Internet. Tanpa adanya Internet banyak tugas akhir yang
Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) telah berkembang sangat jauh saat ini dan telah merevolusi cara hidup kita, baik cara berkomunikasi, cara belajar, cara bekerja, cara berbisnis, dan lain sebagainya. Era informasi memberikan ruang lingkup yang sangat besar untuk mengorganisasikan segala kegiatan melalui cara baru, inovatif, instan, transparan, akurat, tepat waktu, lebih baik, dan tentunya memberikan kenyamanan yang lebih dalam mengelola dan menikmati kehidupan termasuk pesantren. Dan salah satu manfaat yang saat ini dirasakan oleh masyarakat luas, pesantren dan juga kita rasakan sebagai civitas academica adalah adanya perbaikan mutu dan kualitas pendidikan di Indonesia karena ditunjang berbagai fasilitas yang sebagian besar memanfatkan teknologi informasi dan komunikasi. (Pannen, P. 2005: 7).
Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) hadir sebagai bentuk tanggapan terhadap perubahan lingkungan luar dunia pendidikan, mulai lingkungan sosial, ekonomi, teknologi, sampai politik, yang mengharuskan dunia pendidikan memikirkan kembali bagaimana perubahan tersebut mempengaruhinya sebagai sebuah institusi sosial dan bagaimana harus berinteraksi dengan perubahan tersebut agar tidak tertinggal dengan issue-issue yang berasal dari lingkungan luar tersebut. Dengan hadirnya TIK, penyebaran informasi menjadi semakin cepat dan mungkin bisa menjadi tak terkendali, apabila tidak ada aturan-aturan yang membatasi tentang informasi-informasi mana saja yang memang bisa dan layak di akses oleh publik dan informasi mana yang tidak. Cepatnya penyebaran informasi ini, telah mengubah pola pikir manusia sebagai bentuk respon terhadap cepatnya penyebaran informasi tersebut (Mohandas, R. 2003).. Jika kita mencoba telaah lebih dalam lagi, sejauh mana intervensi TIK dalam sektor pendidikan pesantren, akan timbul sebuah pertanyaan, yaitu bagaimana sebenarnya TIK telah mereformasi atau memodernisasikan pendidikan pesantren, sehingga kualitas dan mutu pendididkan bisa lebih baik dibandingkan dengan pendidikan dengan metode konvensional,
Ada tiga hal penting yang harus dipikirkan ulang terkait dengan modernisasi pendidikan: (1) bagaimana kita belajar (how people learn); (2) apa yang kita pelajari (what people learn); dan (3) kapan dan dimana kita belajar (where and when people learn). (Resnick. 2002:43) Dengan mencermati jawaban atas ketiga pertanyaan ini, dan potensi TI yang bisa dimanfaatkan seperti telah diuraikan sebelumnya, maka peran TI dalam moderninasi pendidikan bangsa dapat dirumuskan.
Dunia pesantren sebagai lembaga pendidikan harus selalu meng update informasi-nformasi yang mereka pergunakan. Selain itu dengan teknologi informasi pesantren dapat terbantu dalam melakukan penyebaran informasi mengenai profil, kegiatan dan menegemen pesantren dalam pengemabngan SDM dan pendidikan.
Terakhir, agar dunia pendidikan Indonesia terrmasuk pengembangan SDM dan pendidikan pesantren dapat lebih berkembang dan maju, sudah seharusnya pemerintah dengan adanya JARDIKNAS dan ICT Center, membuka akses seluas-luasnya terhadap informasi yang berkaitan dengan pendidikan dan memberikan kesempatan bagi seluruh anak Indonesia untuk mengikuti pendidikan yang layak dan berkualitas, serta memberikan empowerment (kendali penuh) kepada para peserta didik dalam proses pembelajaran, dengan memberlakukan Student Centered Learning/ eLearning.
Program IT di pesantren sejalan dengan program Jardiknas (Jejaring Pendidikan Nasional) yang diluncurkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada bulan Maret 2007. Jaringan berbasis internet ini ditujukan untuk menghubungkan 533 pusat di 33 provinsi, 441 kota/kabupaten, dan lebih 3.600 sekolah menengah atas, lebih dari 84 universitas, dan 61 kantor pendidikan di seluruh negeri. Hingga sekarang, jaringan Internet dan Intranet telah dikembangkan di 10 provinsi di Jawa, Sumatra Barat, Kalimantan Selatan, Bali dan Sumatra Selatan. Jaringan sudah diinstall di 25% dari seluruh SMA/SMK/Madrasah Aliyah di seluruh Indonesia. Pada jenjang universitas, jaringan tertentu sudah dibangun dengan nama Inherent (Indonesan Higher Education Network). Spektrum permasalahan yang luas mulai dari pendidik dan peserta didik, rehabilitasi sekolah, hingga kondisi geografis memang telah mendorong pengembangan jaringan berbasis ICT.
Indonesia merupakan negara dengan penduduk keempat terbesar di dunia dengan 247 juta jiwa dan dengan keaneka ragaman etnis, geografi, bahasa-bahasa lokal dengan 17 ribu pulau. Kondisi ini telah membuka jalan bagi satu pertukaran dan deliveri pengetahuan, perspektif dan pengalaman dengan memanfaatkan ICT. Karena itu, pendidikan jarak jauh untuk transformasi masyarakat Islam, melalui Pesantren akan membantu melebarkan lingkup Jardiknas pemerintah.
Beberapa Pesantren yang sudah mengambil bagian dalam proyek percobaan ini adalah:
1. PP Hasyim Asy'ari di Jepara (Jawa Tengah),
2. PP Raudhatul Falah di Rembang (Jawa Tengah),
3. PP Al Kinaniyah di Jakarta Timur (DKI Jakarta),
4. PP Annizamiyyah di Pandeglang (Banten),
5. PP Miftahulhuda Al Musri' di Cianjur (Jawa Barat)
6. PP Al Mizan di Majalengka (Jawa Barat),
7. PP Nurul Jadid di Probolinggo (Jawa Timur)
8. PP Nurul Islam di Jember (Jawa Timur).
Sebagian dari pesantren ini dipilih karena angka kemiskinan yang tinggi, angka partisipasi sekolah yang rendah, indeks pembangunan manusia yang rendah; dan sebagian juga karena faktor jaringan yang sudah terbentuk antara International Center for Islam and Pluralism (ICIP dan Ford Foundation.(www.pesantrenglobal.or.id .2010)
Sardar atau tidak, informasi bukan hanya kebutuhan, melainkan juga dapat menjadi sumber kekuatan. Teknologi informasi dapat menjadi alat terpenting untuk manipulasi dan alat kendali. Ternyata memang, telah menjadi pendapat umum siapa yang menguasai informasi dialah penguasa masa depan. Bahwa kekuatan baru masyarakat bukanlah uang di tangan segelintir orang melainkan informasi di tangan banyak orang (The new source of power is not money in the hand of a few, but information in the hand of many). Wujud dari teknologi informasi yang banyak digunakan oleh manusia saat ini diantaranya adalah komputer dan perangkat lainnya seperti internet (bandwidht, jaringan, wireless, hardware dan software).
Itulah teknnologi informasi, khususnya komputer dan internet yang mesti jadi bagian penting dalam kehidupan kita, termasuk untuk pengembangan pesantren. Peranan teknologi informasi dibutuhkan oleh pesantren dapat sebagai media otomatisasi informasi dan komunikasi dalam konteks dakwah bil hikmah wal mauidhoh, amar makruf nahyi munkar. Mempermudah proses pembelajaran. Menepis gagap santri dan pihak pesantren terhadap kemajuan teknologi. Sebagai antisipasi menyikapi kemajuan era cyberspace masa depan yang telah menjadi keniscayaan. Bagaimanapun, pesantren bukanlah sebuah camp yang harus steril atau tertutup dari akses luar. Pada gilirannya kelak, pesantren dalam batas-batas tertentu akan perlu diketahui akuntabiltas dan transparansi aktivitasnya oleh para pemegang kepentingan. Hal ini juga perlu untuk tetap menjaga kepercayaan publik kepada pesantren.
Lembaga pesantren sedari dahulu, sekarang atau masa yang akan datang masih diyakini berperan positif terhadap perubahan jaman. Sebagai “center of excellent”, yakni pusat tempat berlangsungnya proses pembelajaran generasi yang akan datang terhadap ilmu-ilmu keislaman dengan metodanya yang khas. Disini terdapat kiayi sebagai figur sentralnya (Sebagai guru, orang tua, pembimbing, penyelenggara pendidikan dan pemilik resources pesantren yang rela berkorban tanpa imbalan). Pesantren pun dapat menjadi alternatif pendidikan yang berbiaya murah, yang mampu membentuk kemandirian individu dan masyarakat, tanpa tergantung alokasi APBD/APBN. Dengan sendirinyapun, pesantren menjadi sangat independen dari pengaruh lain. Dan dari sisi kepemilikan sumber daya informasi dan komunikasi keislaman, pesantren memilki otritas yang andal. Pesantren mempunyai jalur sanad yang jelas dan dapat dipertanggung jawabkan validitasnya.
Lembaga pesantren juga berperan unggulan dalam “center of social change”, yaitu agen atau pusat perubahan masyarakat. Input-proses-output-feed back aktivitas di pesantren dapat diharapkan menghasilkan nilai tambah sosial yang tinggi, secara agregat ; agama, idiologi, politik, sosial, ekonomi, budaya, hukum, dan pertahanan, bahkan teknologi tepat guna. Juga dapat diharapkan menjadi wahana peningkatan kualitas manusia supaya bersumber daya (Human Resources Improvement). Mengentaskan kemiskinan, kebodohan, sadar lingkungan dan pemelihara moral atau akhlak terpuji yang sudah langka akibat tergerus kerusakan dan pengaruh negatif perubahan jaman. Kesalehan individual dan sosial, idealnya secara mikro dapat terpotret dari sosok penggiat pesantren. Hal ini secara sistemik dapat memberikan multiflier effect atau bahkan competitive advantage. Sumber daya terbaharukan dalam lingkungan masyarakat untuk menggapai cita-cita masyarakat madani, baldatun thoyyibatun wa robbul ghofur.
G. PENUTUP
Pendidikan di pesantren, dilihat dari sejarahnya, sudah mengalami perubahan yang signifikan, dalam hal mencetak generasi ilmuan baik dalam hal agama, maupun pengetahuan umum. Perkembangan zaman, dan kemajuan teknologi informasi, dapat merobah paradigma pesantren yang lebih peka terhadap perubahan dan perkembangan ilmu pengetahuan, sehingga dengan ini, dengan pengembangan pendidikan pesantren banyak menagalami perubahan dan dalam sistem kependidikan, hal ini juga didukung dengan UU Sistem Pendidikan Nasional No 20 tahun 2003.
Dalam menjalankan perannya ini, tidaklah berlebihan kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi informasi dan komunikasi, digunakan untuk menunjang kelancaran proses pengelolaan pesantren dan peningkatan citra positif. Meskipun memang, teknologi informasi di dunia maya ini sangat riskan dan bukan tanpa ada kemudharatan. Tergantung dari sisi mana menyikapinya, negatif atau positif. Teknologi informasi ini dihukumi sebagai sarana atau washilah berdasarkan tujuannya untuk kemaslahatan agama, akal, jiwa, harta atau keturunan
Perubahan ini, dapat memberikan implikasi yang sangat besar terhadap keberadaan pesantren di Indonesia, dalam mencetak generasi yang cerdas dan respon terhadap kemajuan ilmu serta dapat memajukan bangsa. Pesantren tidak lagi dipandang sebelah mata dalam hal urusan agama, melainkan urusan yang sangat kompleks dalam rangka memberikan bekal pengetahuan terhadap masyarakat maupun para santri sebagai tombak penerus perjuangan bangsa.

Refrensi
Abdul Rahman Shaleh. (2005). Pendidikan Agama dan Pengembangan watak Bangsa. Pendidikan Islam mengajarkan bagaimana hubungan manusia dengan tuhannya. Jakarta: Raja Grafindo Persada
Abdurrachman Mas'ud, (2002), Dinamika Pesantren dan Madrasah Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
Ali Mukti Pembaharuan (1987) Sistem Pendidikan dan Pengajaran Pondok Pesantren Dalam Rangka Merealisasikan Pendidikan Nisional” dalam suara Muhammadiyah No 4, 6 th ke 53:
Dhofier, Zamakhsyari. 1990. Tradisi Pesantren, Studi Tentang Pandangan Hidup Kiyai. Jakarta: LP3ES
H. M Arifn,Prof, M. Ed (2000) Ilmu Pendidikan Islam.Jakarta: Bumi Aksara

Irianto, Jusuf. 2001. Tema-tema Pokok Manajemen Sumber Daya Manusia. Jawa Timur: Insan Cendikia

Ki Hajar Dewantoro Taman Siswa (Yogyakarta. PN Majlis Luhur Taman Siswa,

Mahmud Yunus (1995) Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta Mutiara Sumber Widya,
Membongkar Tradisionalisme Pendidikan Pesantren; "Sebuah Pilihan Sejarah, diambil pada tanggal 05 April 2010 " di www. educationartikel.com

Miski Anwar (2003) Tradisi pesantren di tengah-tengah transpormasi sosial. menggagas pesantren masa depan suara santri untuk IndonesiaBaru Yogyakarta: Qietas
Mohandas, R. (2003). ICT and e-Learning in Indonesia. Presentasi di Tainan, Taiwan, 25-27 Maret. Contoh perubahan pola pikir tersebut adalah lahirnya e-mail yang mengubah cara berkirim surat, e-business atau e-commerce yang telah mengubah cara berbisnis dengan segala turunannya, termasuk e-cash atau e-money

Nurcholis, Madjid (1997) Bilik-bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan.Jakarta: Paramadina,

Nur Syam, (2005) Pengembangan komunitas pesantren dalam dakwah pemberdayaan masyarakat paradikma aksi Metodologi Moh Ali Aziz, dkk (et), Yogyakarta: Pustaka Pesantren,

Pannen, P. (2005). Pemanfaatan ICT dalam Pembelajaran. Presentasi pada Seminar Sun Commitment in Education and Research Industry, Jakarta, 29 Juni
Resnick, M. (2002). Rethinking Learning in the Digital Age. Dalam Porter, M. E., Sachs, J. D., dan McArthur, J. W. The Global Information Technology Report 2001-2002: Readiness for the Networked World
Steenbrink, K. A., (1991) Pesantren, Madrasah, Sekolah: Pendidikan Islam Dalam Kurun Modern, Jakarta: LP3ES

Syukri, Zarkasyi, Abdullah. 2005. Manajemen Pesantren, Pengalaman Pondok Modern Gontor. Ponorogo: Trimurti Press.
UU Sukdiknas Departemen Pendidikan RI, Jakarta: Pustaka Pelajar 2008
Ziemek, Manfred. 1983. Pesantren Dalam Perubahan Sosial. Jakarta: Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M)
www.ginandjar.com diambil pada tanggal 08 April 2010
.
www.pesantrenglobal.or.id diambil pada Rabu, 07 Mei 2010 || 22 Rabiul Akhir 1431 Hijriah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar